Allah telah memberikan kemuliaan dan keutamaan kepada manusia dengan
akal. Dan di dalam kitab-Nya, Dia memuji orang-orang yang memiliki
pikiran dan akal-akal yang terang. Allah Ta’ala berfirman,
“Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar-Ra’du: 19)
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah tetapkan, yang menghalangi mereka untuk ittiba’. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua golongan manusia:
Alangkah bagusnya perkatan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi ketika menjelaskan perkataan Ath Thahawi, “Tidak akan kokoh telapak kaki islam kecuali diatas permukaan taslim (menerima) dan istislam (pasrah)”. Beliau berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau berkata, dari Allah datangnya risalah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima”2.
“Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar-Ra’du: 19)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو اْلأَلْبَابِ
“Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang yang
memiliki pikiran bisa mengambil pelajaran” (QS. Shaad: 29)Akan tetapi kebanyakan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah tetapkan, yang menghalangi mereka untuk ittiba’. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua golongan manusia:
- Golongan yang meniadakan akal dan tidak menghargainya sedikitpun.
- Golongan yang berlebih-lebihan terhadap akal, menjadikannya sebagai sumber pembuatan syariat dan mendahulukannya di atas dalil-dalil yang shahih. Mereka membangun kesesatan-kesesatan pada diri mereka dengan menamakannya kadang-kadang sebagai hakikat, perkara yang meyakinkan atau maslahat dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh nash-nash – meskipun sesungguhnya tidak ditunjukkan oleh nash itu. Kemudian mereka mengambil nash-nash shahih yang mereka istilahkan dengan zhanniyyat (yang masih berupa persangkaan, tidak memberi faidah yakin -pen), lalu mereka menghadapkannya dengan kesesatan-kesesatan itu. Maka nash yang sesuai dengannya mereka terima, sedangkan yang bertentangan dengannya mereka tolak, dengan bersandar kepada suatu kaidah “al-yaqin laa yazuulu bisy syakk” (sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang dikarenakan sesuatu yang meragukan–pen).
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ
يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka
menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap
apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisaa: 65)Alangkah bagusnya perkatan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi ketika menjelaskan perkataan Ath Thahawi, “Tidak akan kokoh telapak kaki islam kecuali diatas permukaan taslim (menerima) dan istislam (pasrah)”. Beliau berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau berkata, dari Allah datangnya risalah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima”2.
Catatan Kaki
1 Lihat Al-I’tisham karya Asy-Syathibi (2/349).
2 Syarh Ath-Thahawiyah (1/231) dan lihat Shahih Bukhari dengan Fathul Bari (13/512).
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Post a Comment