Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

20/08/2013

Ucapan "Minal 'Aidin wal-Faizin" benarkah sesuai sunnah..??

Minal 'Aidin wal-Faizin adalah tradisi yang biasa diucapkan antara sesama Muslim Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei saat merayakan Idul Fitri, setelah menunaikan ibadah puasa pada bulan Ramadan. Ucapan ini secara harfiah diterjemahkan menjadi "Dari (yang) kembali dan berhasil," secara umum diterjemahkan menjadi, "Semoga kita semua tergolong mereka yang kembali (ke fitrah) dan berhasil (dalam latihan menahan diri)". capan minal 'aidin wal-faizin ini menurut seorang ulama tidaklah berdasarkan dari generasi para sahabat ataupun para ulama setelahnya (Salaf as-Shaleh). Perkataan ini mulanya berasal dari seorang penyair di masa Al-Andalus, yang bernama Shafiyuddin Al-Huli, ketika dia membawakan syair yang konteksnya mengkisahkan dendang wanita di hari raya.
Biarpun berbahasa Arab, ucapan minal 'aidin wal-faizin ini tidak akan dimengerti maknanya oleh orang Arab, dan kalimat ini tidak ada dalam kosa kata kamus bahasa Arab, dan hanya dapat dijumpai makna kata per katanya saja. Tidak ada dasar-dasar yang jelas tentang ucapan ini, baik berupa hadist, atsar, atau lainnya.

19/08/2013

Makalah : Pembangunan Daerah



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama, yaitu, Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat.
Sistem sentralisasi yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi urusan pusat, pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah pusat, pusat memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di Indonesia, dan daerah harus melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.

Resume : “ Penentuan Harga Pokok Produk Bersama dan Produk Sampingan”



A. Definisi Biaya Bersama
Biaya bersama dapat di artikan sebagai biaya overhad bersama ( joint Overhead Cost) yang harus di alokasikan ke berbagai departemen, baik dalam perusahaan yang kegiatan produksinya berdasarkan pesanan maupun kegiatan produksinya dilakukan secara massa.
Biaya produk bersama ( joint product cost) adalah biaya yang dikeluarkan sejak saat mula-mula bahan baku diolah sampai dengan saat berbagai macam produk dapat di pisahkan identitasnya. Biaya produk bersama ini terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik.
Biaya  bergabung dan biaya bersama mempunyai satu perbedaan pokok  yaitu bahwa biaya bahwa biaya bergabung dapat diikuti jejak alirannya ke berbagai produk yang terpisah tersebut atas dasar sebab akibat, tau dengan cara menelusuri jejak penggunaaan fasilitas. Biaya bergabung tidak meliputi biaya biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung.

Inovasi dan Kewirausahaan



A.       Inovasi
A.1 Pengertian Inovasi
Menurut etimologi, inovasi berasal dari kata innovation yang bermakna ‘pembaharuan, perubahan (secara) baru’. Inovasi adakalanya diartikan sebagai penemuan, tetapi berbeda maknanya dengan penemuan dalam arti diskoveri atau invensi. Inovasi adalah suatu ide, produk, metode, dan seterusnya yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru, baik berupa hasil diskoveri atau invensi yang digunakan untuk tujuan tertentu.
Menurut David Neeleman (Pendiri dan CEO JetBlue), inovasi adalah upaya mencari cara untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik daripada sebelumnya. Sedangkan menurut Ibrahim (1989), Inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat).
Inovasi adalah proses menemukan atau mengimplementasikan sesuatu yang baru ke dalam situasi yang baru. Konsep kebaruan ini berbeda bagi kebanyakan orang karena sifatnya relatif (apa yang dianggap baru oleh seseorang atau pada suatu konteks dapat menjadi sesuatu yang merupakan lama bagi orang lain dalam konteks lain).

Etos Kerja dan Semangat Kerja



1.      Pengertian dan Konsep Etos Kerja
Etos berasal dari bahasa Yunani ethos yakni karakter, cara hidup, kebiasaan seseorang, motivasi atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka, yakni gambaran, cara bertindak ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan. Menurut Black dalamnIga Manuati Dewi (2002), kerja adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan yang ingin dipenuhinya. Tasmara (2002) mengatakan bahwa Etos Kerja adalah suatu totalitas kepribadian dari individu serta cara individu mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna terhadap sesuatu yang mendorong individu untuk bertindak dan meraih hasil yang optimal (high performance). Berpijak pada pengertian bahwa etos kerja menggambarkan suatu sikap, maka dapat ditegaskan bahwa etos kerja mengandung makna sebagai aspek evaluatif yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok dalam memberikan penilaian terhadap kerja. Etos kerja berhubungan dengan beberapa hal penting seperti:
1.      Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.
2.      Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting guna efesien dan efektivitas bekerja.
3.      Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.
4.      Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.
5.      Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.
2.      Aspek-aspek Pengukuran Etos Kerja
Aspek pengukuran dalam etos kerja menurut Handoko (1993) yaitu sebagai berikut:
1.      Aspek dari dalam, yaitu aspek penggerak atau pembagi semangat dari dalam diri individu. Minat yang timbul disini merupakan dorongan yang berasal dari dalam karena kebutuhan biologis, misalnya keinginan untuk bekerja akan memotivasi aktivitas mencari kerja.
2.      Aspek motif sosial, yaitu aspek yang timbul dari luar diri individu. aspek ini bisa berwujud suatu objek keinginan seseorang yang ada di ruang lingkup pergaulan manusia. Pada aspek sosial ini peran human relation akan tampak dan diperlukan dalam usaha untuk meningkatkan etos kerja seseorang.
3.      Aspek persepsi, yaitu aspek yang berhubungan dengan sesuatu yang ada pada diri seseorang yang berhubungan dengan perasaan, misalnya dengan rasa senang, rasa simpati, rasa cemburu, serta perasaan lain yang timbul dalam diri individu. Aspek ini akan berfungsi sebagai kekuatan yang menyebabkan seseorang memberikan perhatian atas persepsi pada sistem budaya organisasi dan aktivitas kerjanya.
3.      FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ETOS KERJA
Etos kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor (Anoraga, 2001), yaitu:
1.    Agama
Pada dasarnya agama merupakan suatu sistem nilai yang akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup para penganutnya. Cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang tentu diwarnai oleh ajaran agama yang dianut jika seseorang sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Etos kerja yang rendah secara tidak langsung dipengaruhi oleh rendahnya kualitas keagamaan dan orientasi nilai budaya yang konservatif turut menambah kokohnya tingkat etos kerja yang rendah.
2.      Budaya Sikap mental, tekad, disiplin, dan semangat kerja masyarakat juga disebut sebagai etos budaya dan secara operasional etos budaya ini juga disebut sebagai etos kerja. Kualitas etos kerja ini ditentukan oleh sistem orientasi nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi dan sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa sama sekali tidak memiliki etos kerja.
3.      Sosial Politik, Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur politik yang mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan dapat menikmati hasil kerja keras dengan penuh. Etos kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang terpacu ke masa depan yang lebih baik.
4.      Kondisi Lingkungan/Geografis, Etos kerja dapat muncul dikarenakan faktor kondisi geografis. Lingkungan alam yang mendukung mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya melakukan usaha untuk dapat mengelola dan mengambil manfaat, dan bahkan dapat mengundang pendatang untuk turut mencari penghidupan di lingkungan tersebut.
5.      Pendidikan, Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia akan membuat seseorang mempunyai etos kerja keras. Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada pendidikan yang merata dan bermutu disertai dengan peningkatan dan perluasan pendidikan, keahlian, dan keterampilan sehingga semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat sebagai pelaku ekonomi.
6. Struktur Ekonomi. Tinggi rendahnya etos kerja suatu masyarakat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi, yang mampu memberikan insentif bagi anggota masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka dengan penuh.
7.  Motivasi Intrinsik Individu. Individu yang akan memiliki etos kerja yang tinggi adalah individu yang bermotivasi tinggi. Etos kerja merupakan suatu pandangan dan sikap yang didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang. Keyakinan inilah yang menjadi suatu motivasi kerja. Maka etos kerja juga dipengaruhi oleh motivasi seseorang yang bukan bersumber dari luar diri, tetapi yang tertanam dalam diri sendiri, yang sering disebut dengan motivasi intrinsik.

4.      Pengertian dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Semangat Kerja
Semangat kerja digunakan untuk menggambarkan suasana keseluruhan yang dirasakan para karyawan dalam kantor. Apabila karyawan merasa bergairah, bahagia, optimis menggambarkan bahwa karyawan tersebut mempunyai semangat kerja tinggi dan jika karyawan suka membantah, menyakiti hati, kelihatan tidak tenang maka karyawan tersebut mempunyai semangat kerja rendah. Dengan kata lain bahwa individu ataupun kelompok dapat bekerjasama secara menyeluruh, seperti halnya Westra (1980) menyatakan bahwa ”Semangat kerja adalah sikap dari individu ataupun sekelompok orang terhadap kesukarelaannya untuk bekerjasama agar dapat mencurahkan kemampuannya secara menyeluruh”. Lalu Menurut Nitisemito (1982) menyatakan gairah kerja adalah ”kesenangan yang mendalam terhadap pekerjaan yang dilakukan”. Meskipun semangat kerja tidak mesti disebabkan oleh kegairahan kerja, tetapi kegairahan kerja mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap semangat kerja. Oleh karena itu, antara semangat kerja dan kegairahan kerja sulit dipisahkan. Sedangkan menurut Moekijat (1995) menyatakan bahwa : ”Semangat kerja menggambarkan perasaan berhubungan dengan jiwa, semangat kelompok, kegembiraan, dan kegiatan. Apabila pekerja tampak merasa senang, optimis mengenai kegiatan dan tugas, serta ramah satu sama lain, maka karyawan itu dikatakan mempunyai semangat yang tinggi. Sebaliknya, apabila karyawan tampak tidak puas, lekas marah, sering sakit, suka membantah, gelisah, dan pesimis, maka reaksi ini dikatakan sebagai bukti semangat yang rendah”. Dari beberapa pendapat tersebut dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan semangat kerja adalah kemampuan atau kemauan setiap indivdu atau sekelompok orang untuk saling bekerjasama dengan giat dan disiplin serta penuh rasa tanggung jawab disertai kesukarelaan dan kesediaannya untuk mencapai tujuan organisasi. Jadi untuk mengetahui tinggi rendahnya semangat kerja karyawan suatu organisasi adalah melalui presensi, kerjasama, tanggung jawab, kegairahan dan hubungan yang harmonis (Westra, 1980).
5.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Semangat Kerja
Didalam melaksanakan aktivitas kerjanya maka sangat perlu diketahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja tersebut. Sebagaimana Westra (1980) menyatakan bahwa ”faktor-faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah sebagai berikut :
1.      Hubungan yang harmonis antara pimpinan dan bawahan, yaitu adanya hubunga timbal balik yang saling menguntungkan antara pimpinan dan bawahan sehingga dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan organisasi.
2.      Kepuasan para karyawan pada tugas dan pekerjaannya, yaitu adanya rasa percaya diri para karyawan untuk menyelesaikan tugas dan kewajibannya secara sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin demi tercapainya tujuan organisasi.
3.      Terdapatnya sesuatu suasana dan iklim kerja yang bersahabat dengan anggotaanggota
lain dalam organisasi, yaitu tercapainya suatu kondisi yang dapat memberikan semangat kerja dan mendukung terselesainya tugas dan pekerjaannya dengan rasa senang kondisi semacam ini akan tercipta jika hubungan kerja terjalin semestinya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab serta hal dan kewajibannya masing-masing.
4.      Adanya tingkat kepuasan ekonomi sebagai imbalan untuk jerih payahnya Yaitu adanya upah yang sesuai dengan pekerjaan yang diberikan sehingga dapat memberikan rasa nyaman dan nyaman yang mampu memenuhi kebutuhannya secara layak.
5.      Rasa kemanfaatan bagi tercapainya tujuan organisasi yang juga merupakan tujuan bersama,yaitu adanya tujuan yang jelas yang ingin dicapai yang pada akhirnya akan berguna untuk kepentingan bersama.
6.      Adanya ketenangan jiwa, jaminan kepastian serta perlindungan dari organisasi
Yaitu adanya perlindungan kerja dan jaminan keselamatan pada setiap kecelakaan yang terjadi pada karyawan saat dia menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sehingga karyawan merasa aman dan dalam menyelesaikan pekerjaannya.
7.      Adanya lingkungan fisik suatu kantor yaitu adanya suatu kondisi fisik dimana karyawan melaksanakan tugas dan kewajiban serta mempengaruhi dirinya dalam memberikan tugas yang diberikan kepadanya”.
Kemudian Nawawi (1990) menyatakan bahwa ”faktor yang mempengaruhi
semangat kerja karyawan adalah minat atau perhatian terhadap pekerjaan, upah/gaji, status sosial berdasarkan jabatan, tujuan yang mulia dan pengabdian, susana lingkungan kerja, dan hubungan manusiawi”. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi semangat kerja menurut Anoraga (1998) menyatakan bahwa ”faktor yang mempengaruhi semangat kerja adalah keamanan kerja, kesempatan untuk mendapatkan kemajuan, lingkungan kerja, rekan sekerja yang baik, dan gaji atau pendapatan”.
 6.      Hubungan Etos Kerja dengan Semangat Kerja
Dari Penjelasan tentang etos kerja dan semangat kerja diatas kita dapat simpulkan bahwa kerja  adalah nilai-nilai yang diyakini sebagai cita-cita ideal tentang kerja, yang diwujudkan dalam kebiasaan kerja sehari-hari. Sedangkan semangat kerja merupakan refleksi dari etos kerja yang didalamnya terkandung gairah kerja yang kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerjanya sesempurna mungkin. Etos kerja tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh sekelompok orang dalam masyarakat. Etos kerja dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai (agama dan kepercayaan) yang diyakininya. Dalam etos kerja terkandung gairah atau semangat kerja yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin.
Sinamo (2000) menegaskan bahwa etos kerja akan mampu mendongkrak semangat kerja. Ada 8 (delapan) peta etos kerja profesional yang Sinamo sebutkan, yaitu: kerja adalah rakhmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi diri, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah pelayanan.
Jadi, Hubungan Etos kerja dengan semangat kerja adalah hubungan yang sangat erat dimana etos kerja yang baik akan menghasilakn semangat kerja yang tinggi.

Penghalang Ittiba' ( 2) : Mendahulukan Akal di atas Dalil yang Shahih

Allah telah memberikan kemuliaan dan keutamaan kepada manusia dengan akal. Dan di dalam kitab-Nya, Dia memuji orang-orang yang memiliki pikiran dan akal-akal yang terang. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (QS. Ar-Ra’du: 19)
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو اْلأَلْبَابِ
Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang yang memiliki pikiran bisa mengambil pelajaran” (QS. Shaad: 29)
Akan tetapi kebanyakan manusia tidak membiarkan akal pada kedudukan yang telah Allah tetapkan, yang menghalangi mereka untuk ittiba’. Bahkan mereka tergelincir menjadi dua golongan manusia:
  1. Golongan yang meniadakan akal dan tidak menghargainya sedikitpun.
  2. Golongan yang berlebih-lebihan terhadap akal, menjadikannya sebagai sumber pembuatan syariat dan mendahulukannya di atas dalil-dalil yang shahih. Mereka membangun kesesatan-kesesatan pada diri mereka dengan menamakannya kadang-kadang sebagai hakikat, perkara yang meyakinkan atau maslahat dan tujuan yang hendak diwujudkan oleh nash-nash – meskipun sesungguhnya tidak ditunjukkan oleh nash itu. Kemudian mereka mengambil nash-nash shahih yang mereka istilahkan dengan zhanniyyat (yang masih berupa persangkaan, tidak memberi faidah yakin -pen), lalu mereka menghadapkannya dengan kesesatan-kesesatan itu. Maka nash yang sesuai dengannya mereka terima, sedangkan yang bertentangan dengannya mereka tolak, dengan bersandar kepada suatu kaidah “al-yaqin laa yazuulu bisy syakk” (sesuatu yang meyakinkan tidak bisa hilang dikarenakan sesuatu yang meragukan–pen).
Mereka tidak mengetahui bahwa akal memiliki batasan-batasan di dalam mengetahui sesuatu. Dan Allah tidak memberikan jalan bagi akal untuk mengetahui segala sesuatu1. Sebagaimana mereka tidak mengetahui bahwa Allah menjaga agama-Nya dan melindungi Nabi-Nya dari ketergelinciran dan penyimpangan di dalam menyampaikan agama-Nya. Maka segala sesuatu yang beliau bawa adalah kebenaran yang tidak ada keraguannya, sedangkan yang mereka namakan dengan hakikat dan perkara yang meyakinkan adalah kebatilan. Hal itu ditunjukkan oleh adanya perbedaan akal dan pemahaman manusia di dalam menentukan hakikat-hakikat dan maslahat-maslahat. Dan juga, Allah telah memerintahkan kita untuk menerima hukum Allah dan Rasul-Nya dengan penerimaan yang mutlak tanpa menghadapkan nash itu kepada akal sebelum menerimanya. Sebagaimana di dalam firman Allah,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati pada diri mereka rasa keberatan terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-Nisaa: 65)
Alangkah bagusnya perkatan Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi ketika menjelaskan perkataan Ath Thahawi, “Tidak akan kokoh telapak kaki islam kecuali diatas permukaan taslim (menerima) dan istislam (pasrah)”. Beliau berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan logikanya. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri rahimahullah, bahwa beliau berkata, dari Allah datangnya risalah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerima”2.
Catatan Kaki
1 Lihat Al-I’tisham karya Asy-Syathibi (2/349).
2 Syarh Ath-Thahawiyah (1/231) dan lihat Shahih Bukhari dengan Fathul Bari (13/512).
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel Muslim.Or.Id

17/08/2013

Penghalang Ittiba': Mendahulukan Pendapat nenek Moyang di atas Dalil

Termasuk penghalang ittiba’ yang terbesar adalah mendahulukan pendapat nenek moyang, para guru dan para tokoh pembesar, atas nash-nash yang shahih. Allah berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ
Dan jika dikatakan kepada mereka, marilah kalian kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasul, niscaya mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami berada padanya. Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah: 104)
Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Jika mereka diajak kepada agama dan syariat Allah, kepada hal-hal yang Allah wajibkan dan meninggalkan hal-hal yang Allah haramkan, mereka berkata, cukup bagi kami jalan-jalan yang ditempuh oleh nenek moyang kami. Allah berfirman, ‘Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?’ Yakni, mereka tidak mengetahui, memahami dan mengikuti kebenaran. Lalu kenapa mereka tetap mengikutinya padahal demikian keadaannya?! Tidak ada yang mengikuti mereka melainkan orang yang lebih bodoh dari mereka dan lebih sesat jalannya”1.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ
Pada hari ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, aduhai, seandainya dulu kita mentaati Allah dan Rasul. Mereka berkata, wahai Rabb kami, sesungguhnya kami (dahulu) mentaati tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus), wahai Rabb kami, berikanlah kepada mereka siksaan dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar” (QS. Al-Ahzaab: 66-68)
Asy-Syaukani berkata, “Yang dimaksud dengan tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar adalah para pemimpin yang dipatuhi perintahnya di dunia dan diteladani. Dan di dalam firman Allah ini terdapat larangan keras dari taklid. Alangkah banyaknya peringatan-peringatan di dalam al-Qur’an terhadap taklid. Akan tetapi hal itu hanyalah bagi orang yang memahami dan mengikuti firman Allah serta bersikap adil terhadap dirinya, bukan bagi orang yang sejenis dengan binatang ternak di dalam pemahaman yang buruk, keras kepala dan kefanatikan”2.
Dan telah datang banyak riwayat dari salaf (ulama terdahulu) yang memperingatkan hal itu. Diantaranya:
Perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhu kepada ‘Urwah bin Zubair ketika dia berkata dalam suatu masalah, “Adapun Abu Bakar dan Umar, mereka tidak melakukannya”. Ibnu Abbas berkata, “Demi Allah, aku melihat kalian tidak akan berhenti kecuali Allah mengadzab kalian. Kami menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kalian, namun kalian menyampaikan kepada kami perkataan Abu Bakar dan Umar”3.
Dan perkataan Ibnu Mas’ud, “Ketahuilah, janganlah salah seorang di antara kalian taqlid kepada seseorang di dalam agamanya, jika dia beriman dia ikut beriman, jika dia kafir diapun ikut kafir. Dan jika kalian harus mengambil teladan, maka terhadap orang yang telah mati. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah (ujian/kesesatan-pen)”4.
Di dalam satu riwayat dari beliau, “Janganlah salah seorang di antara kalian taklid kepada seseorang di dalam agamanya, jika dia beriman dia ikut beriman, jika dia kafir diapun ikut kafir. Karena tidak ada keteladanan di dalam keburukan.”5.
Umar bin Abdil Aziz berkata, “Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama adanya sunnah yang diajarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam6.
Asy-Syafi’i berkata, “Manusia telah bersepakat, barangsiapa yang telah jelas baginya satu sunnah dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena perkataan/pendapat seorang manusia.” Dan telah shahih riwayat dari beliau bahwa beliau berkata, “Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama adanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam7.
Ibnu Khuzaimah berkata, “Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama dengan adanya (hadits-pen) Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, jika telah shahih hadits dari beliau”8.
Dan Ibnu Taimiyah memiliki perkataan yang sangat berharga tentang hal ini. Beliau berkata, “Agama Allah dibangun di atas pondasi ittiba’ (mengikuti) Kitabullah, sunnah Nabi-Nya dan kesepakatan umat ini. Maka tiga pondasi inilah yang terjaga (dari kesalahan-pen). Segala sesuatu yang diperselisihkan umat ini, mereka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada seorangpun yang berhak mengangkat seorang individu bagi umat ini yang dia dakwahkan jalannya, dia tegakkan sikap loyal dan permusuhan karenanya kecuali perkataan Allah dan RasulNya serta kesepakatan umat ini. Bahkan sikap ini adalah perbuatan ahlu bid’ah, yang mengangkat seorang individu bagi mereka atau mengangkat suatu perkataan untuk memecah belah umat. Mereka menyandarkan sikap loyal dan permusuhan mereka di atas perkataan atau jalan tesebut”9.
Dan perkataan Al-Karkhi – semoga Allah mengampuninya – menunjukkan kepada puncak kejahatan yang dicapai oleh sikap mendahulukan pendapat manusia – siapapun orangnya – di atas nash yang shahih. Dia berkata, “Setiap ayat yang menyelisihi pendapat sahabat-sahabat kami, maka ayat itu di-takwil (dipalingkan maknanya-pen) atau di-mansukh (dihapus hukumnya-pen). Begitu pula setiap hadits (yang menyelisihi pendapat sahabat-sahabat kami-pen), maka di-takwil atau di-mansukh10.
Saya katakan, “Inilah yang dipegangi oleh kebanyakan manusia pada zaman ini, yang mendahulukan pendapat guru-guru mereka atau kelompok-kelompok mereka atau partai-partai mereka di atas nash-nash yang telah tetap dan shahih. Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhim.
Catatan Kaki
1 Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim (2/108, 109).
2 Fathul Qadir (4/431).
3 Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (2/1209-1210) no. 2377.
4 Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Al-Lalikai (1/903) no. 130.
5 I’laamul Muwaqqi’in (2/135).
6 Idem (2/201).
7 Idem (2/201).
8 Idem (2/202).
9 Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (20/164).
10 Ar-Risalah fi Ushulil Hanafiyah karya Al-Karkhi, 169-170, (dicetak bersama kitab Ta’sis An-Nazhar karya Ad-Dabusi).

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel Muslim.Or.Id