BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Negara Indonesia
merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Desentralisasi itu
sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama, yaitu, Desentralisasi
merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya
oleh pemerintah pusat. Desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang
tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat.
Sistem sentralisasi yang
pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi urusan pusat, pusat
dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah pusat, pusat
memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di Indonesia, dan daerah
harus melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.
Dalam penjelasan
tersebut, daerah dapat diartikan bahwa daerah Indonesia dibagi dalam daerah
provinsi, daerah provinsi dibagi dengan daerah yang lebih kecil. Dengan
penerapan sistem terpusat di segala bidang kehidupan ternyata tidak dapat
menciptakan kemakmuran rakyat yang merata di seluruh daerah, karena jauhnya
jangkauan dari pusat, sehingga kebanyakan daerah yang jauh dari pemerintah
pusat kurang mendapatkan perhatian, dan tujuan membangun Good Governence
belum dapat terwujud. Berakhirnya rezim orde baru, berganti dengan era reformasi,
mengubah cara pandang untk mewujudkan Good Governence, salah satunya
dengan adanya otonomi daerah, karena Otonomi Daerah dapat mengembangkan
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
Pembangunan ekonomi saat
ini di negara kita (indonesia) selama masa pemerintahan orde baru lebih
mementingkan atau memusatkanpada pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak membuat
wilayah daerahtanah air dapat berkembang dengan baik. Sebagai hasil pembangunan
selama ini lebih dikonsentrasikan di Pusat Jawa atau di Ibukota, hal ini
merupakan sebagai proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran. Pada tingkat
nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun cukup tinggi dan
tingkat pendapatan perkapita naik terus setiap tahun hingga krisis terjadi.
Namun dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi
antar propinsi makin membesar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian otonomi daerah?
2.
Bagaimana peluang dan tantangan bisnis di daerah?
3.
Bagaimana indikator dalam ketimpangan antar
daerah/provinsi?
4.
Apa faktor penyebab ketimpangan antar daerah?
C.
Tujuan Masalah
1.
Menjelaskan pengertian dari otonomi daerah.
2.
Mengetahui tantangan bisnis yang terjadi di Indonesia
karena otonomi daerah.
3.
Menjelaskan indicator dalam ketimpangan antar
daerah/provinsi.
4.
Memahami faktor penyebab ketimpangan antar
daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat
diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan
yang di maksud Otonomi Daerah adalah
wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada
Negara kesatuan maupun pada Negara federasi.
Pelaksanaan otonomi
daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan
globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan
yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur,
memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya
masing-masing.
Sedangkan yang di maksud
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah,
yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari
pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah
tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan
kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti :
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan
keuangan
4. Pertahanan dan keamanan
Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing.
B. Peluang dan Tantangan Bisnis di Daerah
Pembangunan ekonomi saat ini di negara
kita (indonesia) selama masa pemerintahan orde baru lebih mementingkan atau memusatkan
pada pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak membuat wilayah daerahtanah air dapat berkembang dengan baik. Sebagai
hasil pembangunan selama ini lebih dikonsentrasikan di Pusat Jawa atau di Ibukota, hal
ini merupakan sebagai proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran. Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi
rata-rata pertahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan perkapita naik terus
setiap tahun hingga krisis terjadi. Namun dilihat pada tingkat regional,
kesenjangan pembangunan ekonomi antar propinsi makin membesar.
Sekarang ini di era otonomi daerah
dan desentralisasi, sebagian besar kewenangan
pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar ini
disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Dalam penjelasan UU No.22/1999
ini dinyatakan bahwa tanggung jawab yang dimaksud adalah berupa kewajiban
daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Dari
pemahaman tersebut, maka untuk menghadapi berbagai
persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan
penanggulangannya kepada pemerintah pusat sebagaimana yang selama ini
berlangsung. Di dalam kewenangan otonomi yang dimiliki daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif
dan secara langsung berusaha pengentasan kemiskinan
di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk
memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin.
Hubungan
antara otonomi daerah dengan desentralisasi, demokrasi dan tata pemerintahan
yang baik memang masih merupakan diskursus. Banyak pengamat mendukung bahwa
dengan dilaksanakannya otonomi daerah maka akan mampu menciptakan demokrasi
atau pun tata pemerintahan yang baik di daerah
Pelibatan
masyarakat akan mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu:
1.
Pelibatan masyarakat
akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang
telah diputuskan. Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi,
hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif.
2.
Pelibatan masyarakat
akan meringankan beban pemerintah daerah (dengan artian pertanggungjawaban
kepada publik) dalam mengimplementasikan kebijakan daerahnya. Ini disebabkan
karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan
tersebut. Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan
pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.
3.
Pelibatan masyarakat
akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah,
khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang
baik.
Perubahan-perubahan yang
berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah ini sangat boleh jadi menimbulkan
“cultural shock”, dan belum menemukan bentuk/format pelaksanaan otonomi seperti
yang diharapkan. Hal ini berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kewajiban
daerah yang dinyatakan dalam penjelasan UU No.22/1999, yaitu untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan, dan pemerataan.
Berkaitan dengan
kewenangan dan tanggung dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah
daerah berupaya dengan membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi
yang berkenaan dengan hal tersebut. Namun dengan belum adanya bentuk yang jelas
dalam operasionalisasi otonomi tersebut, maka sering terdapat bias dalam hasil
yang di dapat. Pelimpahan kewenangan dalam otonomi cenderung dianggap sebagai
pelimpahan kedaulatan. Pada kondisi ini, otonomi lebih dipahami sebagai bentuk
redistribusi sumber ekonomi/keuangan dari pusat ke daerah. Hal ini terutama
bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber ekonomi. Dengan begitu, konsep otonomi
yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik yang lebih baik, justru menjadi
tidak atau belum terpikirkan.
Kemandirian daerah
sering diukur dari kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD). PAD juga menjadi cerminan keikutsertaan daerah dalam membina
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di
daerah. Keleluasaan memunculkan inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah
dalam mencari dan mengoptimalkan sumber penerimaan dari PAD sekarang ini
cenderung dilihat sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan dalam
pelaksanaan otonomi. Disamping itu, hal ini dapat menimbulkan pula ego
kedaerahan yang hanya berjuang demi peningkatan PAD sehingga melupakan
kepentingan lain yang lebih penting yaitu pembangunan daerah yang membawa
kesejahteraan bagi masyarakatnya. Euphoria reformasi dalam pelaksanaan
pemerintahan di daerah seperti ini cenderung mengabaikan tujuan otonomi yang
sebenarnya.
Otonomi menjadi
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang
tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan
berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan
daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat
dan daerah antar daerah.
Disamping
peluang-peluang yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah, terdapat sejumlah
tuntutan dan tantangan yang harus diantisipasi agar tujuan dari pelaksanaan
otonomi daerah dapat tercapai dengan baik. Diantara tantangan yang dihadapi
oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap
pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh
kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan
peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri.
Dalam implementasinya,
penetapan dan pelaksanaan peraturan dan instrumen baru yang dibuat oleh
pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun
dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada
kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan, yaitu
masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil. Kemungkinan munculnya dampak
negatif perlu mendapat perhatian lebih besar, karena hal tersebut dapat
menghambat tercapainya tujuan penerapan otonomi daerah itu sendiri.
C.
Indikator
Ketimpangan antar Daerah
Pertumbuhan ekonomi
merupakan menu utama pemeringkatan kinerja suatu wilayah dalam proses
pembangunan. Fenomena ini menjadi rujukan utama untuk melihat kinerja wilayah,
pada prosesnya kenaikan kinerja output pendapatan per kapita per periode
menyebabkan terjadi perubahan orientasi wilayah dari small economic growth-middle economic growth sampai pada tahap high economic growth.
Perubahan dari waktu ke
waktu ini menjadikan wilayah tersebut mendapat angin segar dalam proses
pembangunan dan menyebabkan perubahan kebijakan-kebijaka strategis dalam proses
mempertahankannya. seiring perkembangan fiskal barang dan jasa serta kebijakan
menuntut kehati-hatian menangani proses pelaksanaan pembangunan. Adapun
tuntunan kehati-hatian tersebut mengacu pada:
1. Perkembangan
ekonomi global.
2. Mempertahankan
arus investasi pada beberapa usaha strategis
3. Menjaga
stabilitas produksi dan bahan baku.
4. Peningkatan
kerjasama antarwilayah
5. Menekan
dan meminimalisir terjadinya inflasi
Faktor
safety tersebut menjadi pertimbangan utama dalam melakukan kajian pertumbuhan
ekonomi. Mengacu pada kajian Harrod-Domar
bahwa pertumbuhan ekonomi harus mengacu pada steady growth, yang berarti
pertumbuhan tetap dipertahankan dengan mengacu pada barang modal telah mencapai
kapasitas penuh, tabungan adalah proporsional dengan pendapatan nasional, rasio
modal produksi (capital output ratio) tetap nilainya. Leading economic dan
stabilitas menjadi kajian Harrod-Domar
dengan AE = C+I. Dengan asumsi akan menyebabkan kapasitas barang modal menjadi
semakin tinggi pada tahun berikutnya.
Di Negara maju atau Negara yang sedang akan maju, dengan wilayah satu kesatuan memudahkan dalam proses akses antar kawasan dan wilayah. Dengan aksesibilitas 1 ruang secara administratif akan tercipta homogenitas pembangunan yang ada didalamnya, hal tersebut mengakibatkan proses pembangunan menjadi mudah. Daerah homogen ini selanjutnya akan menyebabkan kemampuan wilayah untuk menjaring tenaga kerja dari berbagai tingkat ilmu dapat terakomodasi. Strategi ini menjadikan wilayah dapat mengakomodasi semua elemen. Faktor perencanaan dan manajemen pembangunan yang baik akan menyebakan kawasan menjadi kawasan ekonomi strategis seperti halnya Negara kecil Singapura.
Merujuk
pada wilayah Indonesia yang kepulauan menyebabkan adanya ketimpangan-ketimpangan
di sektor-sektor tertentu. Ketimpangan tersebut menyakibatkan arus urbanisasi
meningkat, ketidakmerataan pembangunan, kemiskinan, pengangguran,
ketidakseimbangan SDM, ketidakmerataan penggunaan teknologi, dan aksesibilitas
yang kurang memadai.
Hal tersebut mengakibatkan pemerataan pembangunan yang timpang. Merujuk pada pakar ekonomi Harvard Prof. Emeritus Adelman dan Morris (1973) berpendapat bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan dalam ekonomi suatu wilayah ada 8, yaitu :
Hal tersebut mengakibatkan pemerataan pembangunan yang timpang. Merujuk pada pakar ekonomi Harvard Prof. Emeritus Adelman dan Morris (1973) berpendapat bahwa ketidakmerataan distribusi pendapatan dalam ekonomi suatu wilayah ada 8, yaitu :
1. Pertambahan
penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunya pendapatan perkapita
2. Inflasi
dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proposional dengan
pertambahan produksi barang-barang,
3. Ketidakmerataan
pembangunan antar daerah,
4. Investasi
yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal sehingga presentase
pendapatan modal dari harta tambahan besar dibandingkan dengan presentase
pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga penngangguran bertambah,
5. Rendahnya
mobilitas industri,
6. Pelaksanaan
kebijakan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga
barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis,
7. Memburuknya
nilai tukar (term of trade) bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan
dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan
negara-negara terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang,
8. Hancurnya
industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga
dan lain-lain.
Kecenderungan tersebut
menjadi dasar terjadinya ketimpangan pembangunan pada suatu wilayah ditambah
factor lokasi yang berpulau dapat menjadi factor pemikiran utama untuk
peningkatan perkembangan ekonomi pada masa yang akan datang. Pembangunan
regional adalah bagian yang integral dalam pembangunan nasional. Karena itu
diharapkan bahwa hasil pembangunan akan dapat terdistribusi dan teralokasi ke
tingkat regional. Untuk mencapai keseimbangan regional terutama dalam
perkembangan ekonominya maka diperlukan beberapa kebijaksanaan dan program
pembangunan daerah yang mengacu pada kebijaksanaan regionalisasi atau
perwilayahan.
Beberapa ahli
pembangunan wilayah berpendapat bahwa ketimpangan antar wilayah adalah suatu
proses yang akan terjadi dan tidak dapat dihindari seiring dengan kemajuan
dalam pembangunan sosial ekonomi negara, sampai kemudian menurun kembali dengan
sendirinya setelah mencapai titik balik (polarization reversal). Kuznets (1995) dalam penelitiannya di
negara-negara maju berpendapat bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi
pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan
membaik. Penelitian inilah yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep
kurva Kuznets U terbalik. Sementara itu menurut Oshima (1992) bahwa negara-negara Asia nampaknya mengikuti kurva
Kuznets dalam kesejahteraan pendapatan. Ardani
(1992) mengemukakan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah merupakan
konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam
pembangunan itu sendiri.
D.
Faktor
Ketimpangan antar Daerah
Kesenjangan
yang terjadi pada pembangunan ekonomi adalah sebuah persoalan vital dalam
kajian ilmu pembangunan ekonomi daerah di Negara Indonesia. Terdapat 2
pendekatan yang bisa dijadikan ukuran kesenjangan pembangunan ekonomi antar
daerah-daerah di Indonesia, ialah dengan memakai pendekatan pendapatan &
memakai pendekatan pengeluaran konsumsi rumah tangga. Jika memakai pendekatan
pendapatan (PDRB), makadapat diketahui bersama bahwa provinsi-provinsi di Pulau
Jawa mengambil porsi terbesar yaitu lebih dari 60% terhadap total PDB Indonesia
pada tahun 1990-an. Wilayah yang kaya SDM dan sarana prasarana lebih layak dan
baik mempunyai bagian yang besar. Misalnya DKI Jakarta mendapat 15%-16% bagian
dari PDB nasional, Kemudian Jawa Timur menikmati sebesar 15%, dan Jawa Tengah
mendapat bagian sebesar 10%. Sedangkan kawasan yang kaya SDA mempunyai bagian
yang lebih kecil. Misalnya : . Provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang
masing-masing mendapat bagian 5%. DI Aceh yang hanya menyumbang 3% pada PDB
nasional.
Kesenjangan
yang terjadi pada pembangunan ekonomi antar daerah sering bersinggungan dengan
taraf kemiskinan di beberapa daerah di Indonesia. Di Pulau Jawa, Misalnya :
Jawa Tengah dan DI Yogyakarta merupakan kawasan yang banyak terdapat kemiskinan
di Indonesia barat, sebagai akibat kepadatan penduduk. Sedangkan NTB dan NTT
merupakan pusat kemiskinan di Indonesia kawasan timur, karena daerah tersebut
tidak memiliki SDM, teknologi, infrastruktur, dan kewirausahaan yang baik.
Kesenjangan
antar daerah juga ada kaitannya dengan perbedaan pola pembangunan secara
sektoral. Misalnya : proses Industrialisasi di Indonesia kawasan barat lebih
baik dibandingkan di Indonesia kawasan timur.
Sebab-sebab
ketimpangan pembangunan ekonomi di daerah- daerah di Negara Indonesia yaitu:
1. Terpusatnya
kegiatan ekonomi hanya pada beberapa wilayah, misalnya : pembangunan hanya di
pulau Jawa.
2. Alokasi
investasi yang tidak seimbang.
3. Perbedaan
SDA antar provinsi yang timpang antara daerah asatu dengan lainnya.
4. Arus
sirkulasi faktor produksi yang rendah antar daerah satu dengan lainnya.
5. Kondisi
demografis antar wilayah yang berbeda-beda, kadang pula sulit terjangkau.
6. Perdagangan
antar provinsi kurang lancar dan sering mengalami kendala transportasi.
Kesenjangan
antar daerah yang semakin besar menurut Williamson
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu:
1. Adanya migrasi tenaga kerja antar daerah
bersifat selektif yang pada umumnya para migran tersebut lebih terdidik,
mempunyai ketrampilan yang tinggi dan masih produktif
2.
Adanya
migrasi kapital antar daerah. Adanya proses aglomerasi pada daerah yang relatif
kaya menyebabkan daya tarik tersendiri bagi investor pada daerah lain yang
berakibat terjadinya aliran kapital ke daerah yang memang telah terlebih dahulu
maju.
3. Adanya pembangunan sarana publik pada
daerah yang lebih padat dan potensial berakibat mendorong terjadinya
kesenjangan/ketimpangan antar daerah lebih besar.
4.
Kurangnya
keterkaitan antar daerah yang dapat menyebabkan terhambatnya proses efek sebar
dari proses pembangunan yang berdampak pada semakin besarnya
kesenjangan/ketimpangan yang terjadi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan makalah di atas, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, antara lain:
Dari penjelasan makalah di atas, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan, antara lain:
a1. Otonomi
Daerah merupakan hak, wewenang, dan
kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. PelaksanaanOtonomi Daerah menjadi satu hal yang menantang bagi suatu daerah, di satu sisi
harus mampu mengoptimalkan potensi daerahnya sendiri dan mampu bersaing secara
nasional dengan seluruh tantangan yang bersifat kompleks.
3. Aplikasi
Otonomi Daerah di masing-masing wilayah menimbulkan berbagai ketimpangan yang
muncul, diantaranya perbedaan pendapatan antar daerah yang satu dengan yang
lain, kemajuan pembangunan yang tidak merata, dan lain-lain.
Daftar Pustaka
http://fuktia-alkarazkani.blogspot.com/2012/04/ketimpangan-pembangunan-antar-wilayah.html
http://yumeikochi.wordpress.com/2011/04/27/kemiskinan-dan-ketimpangan-pendapatan.html
Surna
T. Djajadiningrat dan Melia Famiola, Kawasan
Industri Berwawasan Lingkungan, Rekayasa Sains, Jakarta
0 komentar:
Post a Comment